Rabu, 27 Juni 2018

Resensi Buku Kumpulan Cerpen 'Robohnya Surau Kami'

Pesan Moral Sang Cerpenis

Judul buku          : Robohnya Surau Kami
Pengarang          : Ali Akbar Navis
Penerbit              : Gramadia Pustaka Utama
Cetakan               : XIII, September 2007
Tebal buku          : vi + 42 halaman

Pada tahun 1956, Robohnya Surau Kami terbit pertama kali yang merupakan salah satu karya Ali Akbar Navis yang monumental dalam sejarah sastra Indonesia. Navis lahir pada tanggal 17 November 1924 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Navis mendapat pendidikan di Perguruan Kayutanam. Selain bergerak di bidang pendidikan, Navis juga berkiprah di Jawatan kesenian dan kebudayaan Provinsi Sumatera Tengah di Bukittinggi pada tahun 1952-1955, pemimpin redaksi harian Semangat di Padang pada tahun 1971-1982, dan sejak 1969 menjadi Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam. Navis hidup pada masa yang bisa dikatakan “tempo dulu” yang juga berpengaruh terhadap karyanya dalam buku Robohnya Surau Kami. Navis banyak menceritakan kehidupan masyarakat Indonesia yang masih sederhana dan teknologi belum secanggih dan serumit seperti sekarang. Lihat saja kisah pejuang wanita yang kehilangan kedua tangannya akibat ikut bertempur melawan penjajah dalam cerpen “Angin dan Gunung”; Sidin yang membantu korban kecelakaan kereta api bersama para tentara Jepang dalam cerpen “Penolong”; kisah Ompi yang selalu menunggu surat dari anaknya yang merantau di Jakarta walau dalam keadaan sakit dalam cerpen “Anak Kebanggaan’’; atau tokoh aku yang mengisahkan tentang perbedaan pemuda pada zamannya muda dulu dengan pemuda pada zaman sekarang dalam cerpen “Dari Masa ke Masa”, serta cerita lainnya yang membuktikan berbagai kisah dalam buku ini Navis mengisahkan kehidupan masyarakat Indonesia yang masih penuh dengan kekolotan dan kesempitan cara berpikir pada masanya, bahkan pada masa pendudukan Jepang.

Dalam buku ini Navis menyajikan cerpen – cerpennya dengan cara yang sangat imajinatif yang mampu mempermainkan emosi pembaca. Navis berhasil membuat pembaca membayangkan apa yang akan dan sedang terjadi pada tokoh dan membangun keterkejutan pembaca serta berhasil mengguncangkan ketegangan pembaca, dimana setiap pada akhir cerita selalu mengandung unsur yang tak terduga seperti kisah anak tiri yang disiksa dan akhirnya dibunuh dengan sangat tragis oleh ibu tirinya dalam cerpen “Pada Pembotakan Terakhir”. Pemikirannya yang kritis dapat dijadikan sebagai otokritik bagi setiap pemeluk agama – agama di Indonesia dan dimanapun juga, seperti kisah penjaga surau yang menghilangkan nyawanya karena cerita Ajo Sidi tentang Tuhan dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”; kisah dua saudara kandung yang menikah karena kelalaian orang tua yang berpisah dalam cerpen “Datangnya dan Perginya”; kisah seorang tukang rem kereta api yang membalas dendamnya dengan membunuh masinis yang membakar topi helm kebanggaannyanya dalam cerpen “Topi Helm”; kisah seorang majikan yang ditipu sang pembantu rumah tangganya dalam cerpen “Menanti Kelahiran”; kisah kekecewaan seorang bapak yang dimintai nasihat oleh anaknya namun tidak dipatuhi oleh anaknya dalam cerpen “Nasihat – nasihat”. Ini membuktikan kepiawaian Navis dalam merangkai alur cerita dengan bahasa yang lugas dan apik namun tetap sarat akan makna dan pesan moral.

Namun sayangnya, dalam buku ini banyak ditemukan istilah yang mungkin kurang bisa dipahami oleh masyarakat awam, seperti kata bercepak cepong, etek, garin, klerk, dibuntung awak, ninik mamak, jangat, anata, omae, rekas, bagero, bede, yang tidak diterangkan oleh Navis secara jelas. Navis tidak memberikan keterangan tambahan atau catatan kaki tentang istilah tersebut yang tentunya keterangan tersebut dapat membantu pembaca agar lebih memahami cerita dalam cerpen. 

Terlepas dari itu, Navis banyak menyuguhkan kisah-kisah yang mengandung pesan moral yang bisa kita petik. Melalui kesalahan dari perilaku para tokohnya dalam menyelesaikan konflik, seakan menjadi cerminan untuk diri kita. Kesalahan itu seperti rasa bersalah, harapan yang tampak konyol, kebanggaan yang berlebihan, penyesalan, kekecewaan, dan semua hal itu dikisahkan dalam cerpen yang disuguhi dengan pesan moral. Navis seolah ingin memaparkan bahwa dalam menjalani hidup haruslah dengan keseimbangan antara alam akhirat dan alam dunia. Buku ini juga seakan mengajak kita untuk berinterospeksi diri dan membenahi diri kita untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Buku ini telah memberi banyak pelajaran yang dapat di ambil hikmah dan manfaatnya.Buku kumpulan cerpen ini layak dibaca bagi semua kalangan masyarakat tanpa adanya batasan usia, kasta, ataupun agama. Kita perlu membaca buku ini, yang sarat pesan moral agar kita lebih bisa menyikapi hidup dan menjadi manusia yang lebih baik. Buku ini juga layak dijadikan referensi bagi akademisi yang akan melakukan penelitian di bidang sosial budaya ataupun agama.


Peresensi, Widya Kartikasari

KITA BISA SIAGA TSUNAMI ! (Apa itu tsunami dan mitigasinya)

Masih belum hilang dari ingatan kita tentang 13 tahun yang lalu tepat pada tanggal 26 Desember 2004. Sebuah bencana besar meluluh lantakk...