Pesan Moral Sang Cerpenis
Judul
buku : Robohnya Surau
Kami
Pengarang
: Ali Akbar Navis
Penerbit
: Gramadia Pustaka Utama
Cetakan
: XIII, September 2007
Tebal
buku : vi + 42 halaman
Pada tahun 1956, Robohnya Surau Kami terbit pertama kali yang
merupakan salah satu karya Ali Akbar Navis yang monumental dalam sejarah sastra
Indonesia. Navis lahir pada tanggal 17 November 1924 di Padang Panjang, Sumatera
Barat. Navis mendapat pendidikan di Perguruan Kayutanam. Selain bergerak di
bidang pendidikan, Navis juga berkiprah di Jawatan kesenian dan kebudayaan
Provinsi Sumatera Tengah di Bukittinggi pada tahun 1952-1955, pemimpin redaksi
harian Semangat di Padang pada tahun 1971-1982, dan sejak 1969
menjadi Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam. Navis hidup pada masa yang
bisa dikatakan “tempo dulu” yang juga berpengaruh terhadap karyanya dalam buku
Robohnya Surau Kami. Navis banyak menceritakan kehidupan masyarakat Indonesia
yang masih sederhana dan teknologi belum secanggih dan serumit seperti
sekarang. Lihat saja kisah pejuang wanita yang kehilangan kedua tangannya
akibat ikut bertempur melawan penjajah dalam cerpen “Angin dan Gunung”; Sidin
yang membantu korban kecelakaan kereta api bersama para tentara Jepang dalam
cerpen “Penolong”; kisah Ompi yang selalu menunggu surat dari anaknya yang
merantau di Jakarta walau dalam keadaan sakit dalam cerpen “Anak Kebanggaan’’;
atau tokoh aku yang mengisahkan tentang perbedaan pemuda pada zamannya muda
dulu dengan pemuda pada zaman sekarang dalam cerpen “Dari Masa ke Masa”, serta
cerita lainnya yang membuktikan berbagai kisah dalam buku ini Navis mengisahkan
kehidupan masyarakat Indonesia yang masih penuh dengan kekolotan dan kesempitan
cara berpikir pada masanya, bahkan pada masa pendudukan Jepang.
Dalam buku ini Navis menyajikan cerpen – cerpennya dengan cara
yang sangat imajinatif yang mampu mempermainkan emosi pembaca. Navis berhasil
membuat pembaca membayangkan apa yang akan dan sedang terjadi pada tokoh dan
membangun keterkejutan pembaca serta berhasil mengguncangkan ketegangan
pembaca, dimana setiap pada akhir cerita selalu mengandung unsur yang tak
terduga seperti kisah anak tiri yang disiksa dan akhirnya dibunuh dengan sangat
tragis oleh ibu tirinya dalam cerpen “Pada Pembotakan Terakhir”. Pemikirannya
yang kritis dapat dijadikan sebagai otokritik bagi setiap pemeluk agama – agama
di Indonesia dan dimanapun juga, seperti kisah penjaga surau yang menghilangkan
nyawanya karena cerita Ajo Sidi tentang Tuhan dalam cerpen “Robohnya Surau
Kami”; kisah dua saudara kandung yang menikah karena kelalaian orang tua yang
berpisah dalam cerpen “Datangnya dan Perginya”; kisah seorang tukang rem kereta
api yang membalas dendamnya dengan membunuh masinis yang membakar topi helm
kebanggaannyanya dalam cerpen “Topi Helm”; kisah seorang majikan yang ditipu
sang pembantu rumah tangganya dalam cerpen “Menanti Kelahiran”; kisah
kekecewaan seorang bapak yang dimintai nasihat oleh anaknya namun tidak
dipatuhi oleh anaknya dalam cerpen “Nasihat – nasihat”. Ini membuktikan
kepiawaian Navis dalam merangkai alur cerita dengan bahasa yang lugas dan apik
namun tetap sarat akan makna dan pesan moral.
Namun sayangnya, dalam buku ini banyak ditemukan istilah yang
mungkin kurang bisa dipahami oleh masyarakat awam, seperti kata bercepak
cepong, etek, garin, klerk, dibuntung awak, ninik mamak, jangat, anata, omae,
rekas, bagero, bede, yang tidak diterangkan oleh Navis secara jelas.
Navis tidak memberikan keterangan tambahan atau catatan kaki tentang istilah
tersebut yang tentunya keterangan tersebut dapat membantu pembaca agar lebih
memahami cerita dalam cerpen.
Terlepas dari itu, Navis banyak menyuguhkan kisah-kisah yang
mengandung pesan moral yang bisa kita petik. Melalui kesalahan dari perilaku
para tokohnya dalam menyelesaikan konflik, seakan menjadi cerminan untuk diri
kita. Kesalahan itu seperti rasa bersalah, harapan yang tampak konyol,
kebanggaan yang berlebihan, penyesalan, kekecewaan, dan semua hal itu
dikisahkan dalam cerpen yang disuguhi dengan pesan moral. Navis seolah ingin
memaparkan bahwa dalam menjalani hidup haruslah dengan keseimbangan antara alam
akhirat dan alam dunia. Buku ini juga seakan mengajak kita untuk
berinterospeksi diri dan membenahi diri kita untuk menjadi manusia yang lebih
baik lagi.
Buku ini telah memberi banyak pelajaran yang dapat di ambil hikmah
dan manfaatnya.Buku kumpulan cerpen
ini layak dibaca bagi semua kalangan masyarakat tanpa adanya batasan usia,
kasta, ataupun agama. Kita perlu membaca buku ini, yang sarat pesan moral agar
kita lebih bisa menyikapi hidup dan menjadi manusia yang lebih baik. Buku ini
juga layak dijadikan referensi bagi akademisi yang akan melakukan penelitian di
bidang sosial budaya ataupun agama.
Peresensi, Widya Kartikasari